Kamis, 28 Februari 2013

Zamannya Masuk Pesantren


Tadi pagi saya menyempatkan diri jalan-jalan ke sekeliling rumah (mumpung libur) dan akhirnya mendapati 3 sekawan (Inul, Maming, dan Mitta') sedang asyik ngobrol. Saya pun ikut gabung.
Inul : U’nul.. saya nanti kalau besarma’ mauka’ masuk di Gontor (Pondok Modern Darussalam Gontor)
Maming  : Kalau saya di pesantren ka’ (Pesantren Sultan Hasanuddin). Kalau kau iyya mitta’?
Mitta : saya di pesantren ka’ juga nabilang mamaku.. samaki maming di’?
Kurang lebih seperti itulah kutipan percakapan yang saya dengar dari ketiga anak yang masih duduk di bangku kelas 1 SD itu. Perbincangan yang sangat polos dari anak-anak yang lugu itu tak ayal membuat saya berpikir bahwa, Alhamdulillah, pesantren saat ini sudah mendapat tempat khusus di hati para orang tua. Ini menjadi sebuah kesyukuran yang luar biasa tentunya bahwa masyarakat kini sudah mulai sadar bahwa agama sangatlah penting untuk menjadi bekal hidup bagi generasi muda kita.

Jauh hari sebelumnya Allah SWT memang telah mewanti-wanti kita untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah sebagaimana yang dirangkum dalam Q.S. Annisa ayat 9 yang artinya: “Hendaklah mereka takut kepada Allah jika meninggalkan generasi yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Karena itu hendaklah bertaqwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan baik.”

Modernisasi dengan segala dampak pengiringnya, rasa-rasanya dapat menjadi ancaman yang begitu besar bagi kita dan generasi muda kita tatkala mereka tidak dilandasi dengan diin atau agama. Adalah wajar jika orang tua menjadi semakin khawatir terhadap anak-anak mereka mengingat pergaulan anak muda sekarang ini sangat rentan dengan pelanggaran agama, etika, dan moral. Sehingga, anak yang tadinya diharap menjadi Qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi kita justru malah menjadi duri ataupun aib. Na'uudzu billaah min dzaalik.

Sehingga, tidak hanya pesantren, sekolah-sekolah Islam Terpadu pun semakin diminati oleh masyarakat. Meski terkadang mereka harus merogoh kocek lebih dalam lagi dibanding jika memasukkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah umum yang sekarang ini nyaris tanpa biaya. Tapi seperti itulah, kebaikan itu terkadang menjadi barang yang sangat eksklusif dan memang butuh pengorbanan. Wa maa lladzdzatu illaa ba'da tta'bi - tidak akan ada kenikmatan kecuali setelah kepayahan (pengorbanan).

Animo masyarakat akan pendidikan berbasis islam membuat saya semakin percaya akan keadaan Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang. Pemimpin yang lahir dari Sekolah berbasis Islam yang menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai landasan utama yang akan mengantarkan negara ini menjadi negeri yang madani, Insya Allah. Amiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar