Kamis, 15 Maret 2012

Kuubun dan Shahnun

Quulu jamaa'atan... kuubun
haadza kuubun, dzaalika kuubun
kuubun kuubun kuubun canteng, canteng canteng canteng kuubun

teriakan kuubun kuubun dan kuubun itu terdengar di malam pertama ketika mondok di pesantren sultan hasanuddin. Teriakan itu dipimpin oleh Ust. Firman dan diikuti oleh seluruh santri yang baru saja menyantap hidangan makan malam mereka. Teriakan-teriakan itulah yang pertama kali kami menyatukan suara serta komitmen kami untuk belajar bersama di pondok. Kata itu pula yang menjadi kosa kata bahasa arab pertama saya ketika mondok di pesantren.

Seperti yang telah saya ceritakan pada post sebelumnya, di pondok kami, setiap santri wajib menggunakan bahasa asing sesuai dengan hari yang ditetapkan. Senin - Kamis wajib berbahasa arab, Sabtu dan Ahad wajib berbahasa Inggris. Untuk santri baru, diberikan keringanan untuk berbahasa Indonesia selama 3 bulan pertama. Untuk persiapan, kami diberikan les mufradaat dan vocabulary setiap harinya. Setidaknya 3 kali setiap hari untuk santri baru, 2 kali sehari untuk santri lama.

Kembali mengenai kuubun dan shahnun atau canteng dan piring. Kedua kata ini mungkin seperti telah menjadi layaknya bahasa Indonesia di pesantren kami. Sampai-sampai, ketika pulang ke rumah pun kami terkadang menyebut kata kuubun dan shahnun itu.

Percaya atau tidak, bahkan anaknya Ust. Firman pun ketika berumur 3 tahun, tidak tahu canteng dan piring itu bagaimana, yang dia tahu hanya kuubun dan shahnun. betul betul ajip
Makanya, kami pun yakin bahwa dalam 3 bulan ke depan, kami sudah dapat berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan bahasa Arab.

Intinya, yahh man jadda wajada,, kalo berusaha dengan sungguh-sungguh,, pasti bisa

Sampai sekarang, saya masih setuju untuk mengatakan bahwa pondok kami bak kampung arab.

Senin, 12 Maret 2012

Kesan Pertama Begitu Menggoda, Selanjutnya Terserah Anda

Kesan pertama. Iya, kesan pertama terkadang sangat berpengaruh terhadap opini dan pandangan kita terhadap sesuatu. Meski pada dasarnya, "we should not jump into conclusion" - "kita tidak boleh lompat langsung ke kesimpulan", namun kesan pertama memang penting untuk penilaian awal kita terhadap sesuatu.

Mungkin ini jugalah yang membuat saya yakin dan kerasan untuk memilih tinggal dan menetap di pesantren. Kali pertama saya memasuki pondok tersebut sebagai seorang santri baru, kalimat pertama yang saya baca tertulis dalam bahasa arab "anta fii wilaayati wujuubi istikhdaamil lughah" yang artinya "anda sedang berada di wilayah wajib menggunakan bahasa arab". Ini pun menjadi cambukan dahsyat untuk saya untuk segera belajar dan nyantri di pondok dan nantinya akan menggunakan bahasa arab di tempat ini.

Tiba di ma'had, kami disambut oleh para santri yang segera mengantarkan kami ke maskan/ furay'at (asrama). Santri-santri tersebut pun saling bercakap dalam bahasa arab. Pesantren itu terlihat sangat sederhana tapi sangat sejuk di pandang. Terletak di tengah hutan dan jauh dari pemukiman penduduk. Ini seperti kota dalam hutan.

Malam pertama di pondok merupakan malam ta'aaruf, atau malam perkenalan. Waktu itu, mudiir ma'had, Ust. Firmanullah, memanggil kami untuk kemudian memperkenalkan diri di depan santri dan santriwati lainnya. Suasana akrab pun sangat dijalin pada malam itu. Di malam itu, saya takjub kepada rekan-rekan sesama santri baru saya yang ternyata kebanyakan dari mereka juga merupakan juara di sekolah mereka masing-masing. Ini sekaligus menghapus persepsi buruk saya terhadap pesantren yang saya dapat dari teman-teman saya di luar yang mengatakan bahwa yang masuk pesantren hanya anak-anak nakal saja.
Tak sabar rasanya ingin mulai belajar bersama mereka.

Hari-hari pertama kami di ma'had diisi dengan jadwal yang begitu padat tapi sangat bermakna. Dua pekan pertama khutbatul 'arsy (pekan perkenalan). Pagi harinya belajar, sore lomba khutbatul 'arsy begitu pula pada malam hari. Selesai khutbatul 'arsy, diadakan mukhayyam al-ukhuwah islamiyyah (perkemahan ukhuwah) yang diikuti oleh seluruh santri baik yang baru maupun yang santri lama.

Kegiatan-kegiatan seru lainnya juga diadakan selama satu bulan penuh di awal keberadaan kami di pondok. Hingga, tanpa terasa sebulan lamanya kami telah mondok di pesantren dengan berhasil, tanpa homesick, dengan setumpuk cerita yang kami kisahkan kepada orang tua kami di rumah di hari perpulangan nanti.
Kosa kata bahasa arab untuk keseharian kami pun sudah sedemikian banyaknya. Ini membuat saya yakin bahwa 3 bulan di pondok, kami pasti sudah bisa bercakap layaknya kakak-kakan senior kami.

Sekapur Sirih


Tulisan ini berawal dari mimpi seorang anak berusia 9 tahun yang mendapat kiriman buku yang berjudul "Memasuki Gerbang Pesantren" dari ayahnya yang sedang melanjutkan studi di Surabaya. Buku tersebut mengisahkan seorang santri pada sebuah pondok ternama di Jawa Timur yang kemudian sukses setelah mondok di pesantren tersebut. Buku ini menginspirasi betapa banyak orang yang sukses yang bukan berasal dari sekolah umum, melainkan sekolah agama bahkan pesantren sekali pun.

Tak ayal, buku tersebut menghantarkan sang anak bercita-cita untuk kelak menjadi santri layaknya tokoh yang diceritakan dalam buku tersebut. Akhirnya, waktu berlalu dan sang anak pun menjadi santri pada sebuah pondok di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Pondok tersebut bernama Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin.

Yah.. Itulah pondok tempatku dibina, tempatku diajarkan pelajaran kehidupan, tempatku belajar akan kemandirian, persahabatan, kedisiplinan, dan kerja keras.
Pondok yang dibangun dengan 5 pilar, yakni: Jiwa Keikhlasan, Jiwa Kesederhanaan, Jiwa Berdikari, Jiwa Kebebasan, serta Jiwa Ukhuwah Islamiah.

Banyak ilmu, cerita, sahabat, dan pengalaman hidup yang tak dapat kami lupakan selama mondok di tempat yang laksana surga di dunia nyata ini. Rindu rasanya tuk ingin kembali merasakan setiap detik kebersamaan di pondok tercinta ini.

"Jayalah Dikau Abadilah Namamu"
"Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin"